Apa
kebijakan baru tentang UN?
Mulai
tahun 2021 UN akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei
Karakter. Kedua asesmen baru ini dirancang khusus untuk fungsi pemetaan dan
perbaikan mutu pendidikan secara nasional.
Mengapa
2020 akan menjadi tahun terakhir bagi UN?
Pertama,
UN lebih banyak berisi butir-butir yang mengukur kompetensi berpikir tingkat
rendah. Hal ini tidak sejalan dengan tujuan pendidikan yang ingin mengembangkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi serta kompetensi lain yang lebih relevan
dengan Abad 21, sebagaimana tercermin pada Kurikulum 2013. Kedua, UN kurang
mendorong guru menggunakan metode pengajaran yang efektif untuk mengembangkan
kemampuan berpikir tingkat tinggi. Asesmen kompetensi pengganti UN akan
dirancang memberi dorongan lebih kuat ke arah pengajaran yang inovatif dan
berorientasi pada pengembangan penalaran, bukan hafalan. Ketiga, UN kurang
optimal sebagai alat untuk memperbaiki mutu pendidikan secara nasional. Karena
dilangsungkan di akhir jenjang, hasil UN tidak bisa digunakan untuk
mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa dan memberi bantuan yang sesuai dengan
kebutuhan tersebut.
Apa
akan mengganti UN?
Asesmen
kompetensi pengganti UN mengukur kompetensi bernalar yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah di berbagai konteks, baik personal maupun profesional
(pekerjaan). Saat ini kompetensi apa saja yang akan diukur masih dikaji, namun
contohnya adalah kompetensi bernalar tentang teks (literasi) dan angka
(numerasi). Selain itu, Kemdikbud juga akan melakukan survei untuk mengukur
aspek-aspek lain yang mencerminkan penerapan Pancasila di sekolah. Hal ini
mencakup aspek-aspek karakter siswa (seperti karakter pembelajar dan karakter
gotong royong) dan iklim sekolah (misalnya iklim kebinekaan, perilaku bullying,
dan kualitas pembelajaran). Karena fungsi utamanya adalah sebagai alat pemetaan
mutu, asesmen kompetensi dan survei pembinaan Pancasila ini belum tentu
dilaksanakan setiap tahun, dan belum tentu harus diikuti oleh semua siswa.
Tanpa
UN, bukankah siswa kurang termotivasi untuk belajar?
Menggunakan
ancaman ujian untuk mendorong belajar akan berdampak negatif pada karakter
siswa. Jika dilakukan terus menerus, siswa justru akan menjadi malas belajar
jika tidak ada ujian. Dengan kata lain, siswa menjadi terbiasa belajar sekedar
untuk mendapat nilai baik dan menghidari nilai jelek. Hal ini membuat siswa
lupa akan kenikmatan intrinsik yang bisa diperoleh dari proses belajar itu
sendiri. Padahal, motivasi belajar intrinsik inilah yang justru sangat perlu
dikembangkan agar siswa agar menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Tanpa
UN, apakah siswa tidak menjadi orang yang kurang gigih?
UN
adalah alat untuk melakukan monitoring dan evaluasi mutu sistem pendidikan.
Fungsi UN bukan untuk melatih keuletan atau kegigihan. Sifat-sifat ini tidak
dapat dibentuk secara instan di akhir jenjang pendidikan melalui ancaman
ketidaklulusan atau nilai buruk. Sifat seperti kegigihan hanya dapat
ditumbuhkan melalui proses belajar yang memberi berbagai tantangan bermakna
secara berkelanjutan. Butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa membuat sifat
seperti kegigihan menjadi bagian dari karakter siswa.
Mengapa hanya difokuskan
pada literasi dan numerasi?
Literasi dan numerasi adalah kompetensi yang
sifatnya general dan mendasar. Kemampuan berpikir tentang, dan dengan, bahasa
serta matematika diperlukan dalam berbagai konteks, baik personal, sosial,
maupun profesional. Dengan mengukur kompetensi yang bersifat mendasar (bukan
konten kurikulum atau pelajaran), pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa
guru diharapkan berinovasi mengembangkan kompetensi siswa melalui berbagai
pelajaran melalui pengajaran yang berpusat pada siswa.
Apakah berarti pelajaran
selain bahasa dan matematika tidak penting?
Fokus asesmen adalah kompetensi
berpikir, sehingga hasil pengukuran tidak sekedar mencerminkan prestasi
akademik pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika saja. Literasi dan numerasi
justru bisa dan seharusnya memang dikembangkan melalui berbagai mata pelajaran,
termasuk IPA, IPS, kewarganegaraan, agama, seni, dst. Pesan ini penting
dipahami oleh guru, sekolah, dan siswa untuk meminimalkan risiko penyempitan
kurikulum pada pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika.
Jika
apa yang diukur tidak terikat pada konten kurikulum, bagaimana kaitan antara
asesmen ini dengan standar pendidikan?
Betul
bahwa asesmen ini tidak terikat secara erat dengan konten kurikulum. Namun
tidak berarti bahwa asesmen ini sama sekali terlepas dari kurikulum. Dari sisi
konten, asesmen literasi dan numerasi tentu memperhatikan apa yang (seharusnya)
diajarkan oleh guru pada tiap kelas dan jenjang pendidikan. Hanya saja, asesmen
ini tidak dimaksudkan untuk mengukur penguasaan siswa atas konten kurikulum
secara keseluruhan. Pada prinsipnya, penguasaan kurikulum secara utuh hanya
bisa dinilai oleh guru menggunakan sumber informasi yang beragam dari interaksi
sehari-hari dengan siswa. Terlebih lagi, kurikulum tiap sekolah bisa berbeda
karena masing-masing memiliki kewenangan untuk mengembangkan kurikulum yang
sesuai dengan visi dan karakteristik siswanya.
Siapa
yang akan menjadi peserta asesmen pengganti UN?
Asesmen
kompetensi baru akan dilakukan pada siswa yang duduk di pertengahan jenjang
sekolah, seperti kelas 4 untuk SD, kelas 8 untuk SMP, dan kelas 11 untuk SMA.
Dengan dilakukan pada tengah jenjang, hasil asesmen bisa dimanfaatkan sekolah
untuk mengidentifikasi kebutuhan belajar siswa. Dengan dilakukan sejak jenjang
SD, hasilnya dapat menjadi deteksi dini bagi permasalahaan mutu pendidikan
nasional.
Apakah
perubahan ini berdampak pada siswa SD?
Perlu
diketahui bahwa saat ini pun tidak ada UN pada jenjang SD. Dengan demikian,
penghentian UN tidak berdampak pada siswa SD. Seperti yang dipaparkan pada poin
sebelumnya, sebagian siswa SD akan mengikuti asesmen kompetensi baru. Namun
asesmen baru ini dirancang agar tidak memiliki konsekuensi bagi siswa. Karena
itu, asesmen baru tidak menjadi beban tambahan bagi siswa SD.
Tanpa
UN, bagaimana mengukur ketercapaian standar nasional pendidikan?
Perlu
dipahami bahwa UN itu sendiri bukan merupakan standar. UN merupakan instrumen
asesmen yang membantu menilai pencapaian sebagian standar nasional pendidikan.
Karena itu, menghapus UN bukan berarti menghilangkan standar pendidikan.
Sebagaimana disebutkan di atas, UN akan diganti dengan asesmen lain yang memang
dirancang sebagai alat pemetaan mutu pendidikan nasional. Hasil asesmen
pengganti UN tersebut akan menjadi indikator bagi ketercapaian standar nasional
pendidikan di tiap daerah.
Jika
tidak terikat pada konten kurikulum, apakah asesmen ini akan menjadi tambahan
beban bagi siswa/guru di luar kurikulum yang ada?
Asesmen
yang dilakukan oleh otoritas (dalam hal ini Kemendikbud) berpotensi dipandang
sebagai beban tambahan karena guru dan sekolah ingin memperoleh hasil yang
baik. Meski demikian, sebenarnya asesmen literasi dan numerasi ini bukan beban
tambahan. Yang diukur oleh asesmen ini bukanlah penguasaan konten tambahan yang
perlu diajarkan di luar kurikulum yang ada. Seperti telah disebutkan
sebelumnya, kompetensi literasi dan numerasi bisa dan perlu dikembangkan
melalui semua mata pelajaran.
Jika digunakan untuk menilai efektivitas sekolah,
apakah asesmen baru tidak berdampak negatif pada siswa?
Harus diakui bahwa
asesmen baru dapat dianggap bersifat high stakes bagi guru dan sekolah. Jika
itu terjadi, asesmen baru berpotensi memiliki dampak negatif seperti mendorong
adanya tekanan dari guru pada siswa untuk mendapat skor tinggi, serta anggapan
bahwa pelajaran yang dianggap tidak relevan untuk asesmen ini kurang penting.
Dampak seperti ini akan dimitigasi melalui berbagai cara. Yang pertama adalah
rancangan kebijakan yang menekankan pada pemberian dukungan dan sumberdaya
sesuai kebutuhan sekolah, bukan hukuman dan hadiah. Kedua, akan tersedia
asesmen yang sama dalam versi yang dapat digunakan oleh guru sebagai bagian
dari pengajaran sehari-hari. Versi “asesmen mandiri” ini juga akan dilengkapi
dengan petunjuk pedagogis dan sumberdaya belajar yang relevan untuk
mengembangkan kompetensi siswa sesuai levelnya.
Apa
dampak asesmen baru bagi siswa?
Asesmen
kompetensi pengganti UN akan dirancang agar tidak memiliki konsekuensi bagi
siswa. Misalnya, pelaksanaan pada pertengahan jenjang (bukan akhir jenjang)
membuat hasil asesmen kompetensi tidak relevan untuk menilai pencapaian siswa.
Hasilnya juga tidak relevan untuk seleksi memasuki jenjang sekolah yang lebih
tinggi. Dengan demikian, asesmen ini tidak akan menjadi beban tambahan bagi
siswa, di luar beban belajar normal yang sudah dijalani.
Apa
dampak asesmen pada guru dan sekolah?
Analisis
dan laporan hasil asesmen kompetensi akan dibuat agar bisa dimanfaatkan guru
dan sekolah untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Hal ini dimungkinkan
karena asesmen baru akan didasarkan pada model learning progression (lintasan
belajar) yang akan menunjukkan posisi siswa dalam tahapan perkembangan suatu
kompetensi. Laporan hasil asesmen juga akan dirancang agar tidak menjadi
ancaman bagi guru dan sekolah. Pemerintah menyadari bahwa baik buruknya
pencapaian siswa dipengaruhi oleh faktor pengajaran (proses di sekolah) maupun
faktor-faktor di luar sekolah, seperti lingkungan rumah dan gaya pengasuhan
orangtua. Karena itu keberhasilan guru atau sekolah tidak akan dinilai
berdasarkan level kompetensi siswa di satu waktu. Keberhasilan guru/sekolah
akan lebih didasarkan pada perubahan dan kemajuan yang dicapai dibanding waktu
asesmen sebelumnya. Hasil asesmen justru akan digunakan untuk mengidentifikasi
kebutuhan sekolah. Kemdikbud akan mengalokasikan dukungan – misalnya dalam
bentuk alokasi SDM dan/atau dana – sesuai dengan kebutuhan tiap sekolah.
Apa
dasar hukum penggantian UN dengan asesmen baru?
UU
Sisdiknas secara eksplisit memberi mandat kepada pemerintah melalui lembaga
mandiri untuk melakukan evaluasi mutu sistem pendidikan nasional. Asesmen
pengganti UN akan menjadi instrumen untuk melayani fungsi tersebut. Selain itu,
pengadilan Negeri Jakarta pada 2007, dan kemudian Mahkamah Agung (MA) pada
2009, menilai bahwa UN tidak adil bagi siswa yang berada di sekolah dan/atau
daerah yang kekurangan sumberdaya. MA memerintahkan pemerintah untuk “meninjau
kembali sistem pendidikan nasional”. Dengan merancang asesmen baru yang
berfungsi untuk pemetaan mutu serta umpan balik bagi sekolah, tanpa ada
konsekuensi pada siswa, pemerintah secara otomatis telah mematuhi putusan hukum
MA mengenai UN.